selamat Datang

Terima Kasih kepada sanak yang telah mampir di blog yang sederhana ini,.mohon kritikan dan saran untuk kemajuan blog yang kami kelola ini..
thanks atas partisipasinya,

Senin, 13 Desember 2010


Linggo Sari Baganti adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Indonesia.yang mana namanya diambil dari gunung Linggo di Punggasan & gunung Saribaganti di Air Haji.
Daftar isi
Batas Wilayah
Kecamatan ini berbatasan dengan kecamatan Ranah Pesisir di utara dan kecamatan Pancung Soal di selatan. Di timur berbatasan dengan Kabupaten Solok Selatan dan di barat dengan Samudera Hindia.
Sejarah
Secara geneologis, penduduk yang sekarang ini mendiami Nagari Punggasan khususnya dan daerah Kab. Pesisir Selatan bagian selatan kecuali Indopuro umumnya berasal dari Alam Surambi Sungai Pagu di Kab. Solok. Arus perpindahan penduduk tersebut dilakukan menembus bukit barisan dan menurun di hamparan dataran luas yang berbatas dengan pantai barat Sumatera Barat bagian selatan yang dulunya dikenal dengan sebutan Pasisia Banda Sapuluah (Pesisir Bandar Sepuluh).
Menurut cerita yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, bahwa yang menemukan dan mempelopori perpindahan penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu ke Nagari Punggasan adalah “Inyiak Dubalang Pak Labah”. Beliau adalah seorang Dubalang/Keamanan dalam salah satu suku di Alam Surambi Sungai Pagu yang suka berpetualang mencari daerah-daerah baru.
Berdasarkan kesepakatan rapat Ninik Mamak Alam Surambi Sungai Pagu, dikirimlah rombongan untuk meninjau wilayah temuan Dubalang Pak Labah. Sesampai di bukit Sikai perjalanan tim peninjau diteruskan kearah hilir melalui bukit Kayu Arang, tempat yang ditandai oleh Dubalang Pak Labah dengan membakar sebatang kayu. Ketika malam datang, rombongan beristirahat di bawah sebatang kayu lagan kecil dan daerah tempat beristirahat tersebut kemudian diberi nama “Lagan Ketek” . Kesokan harinya perjalanan dilanjutkan dan bertemu dengan sebatang kayu lagan yang besar. Daerah tersebut kemudian dinamakan “Lagan Gadang”. Rombongan meneruskan perjalanan sampai kesebuah padang yang banyak ditumbuhi oleh kayu dikek. Dari situ mereka melihat juga sebatang pohon embacang, sehingga kedua tempat tersebut dinamai “Kampung Padang Dikek” dan “Kampung Ambacang”. Perpindahan penduduk dari Alam Surambi Sungai Pagu, terbagi atas dua rombongan besar, dimana rombongan pertama berangkat lebih dulu.
Perjalanan Rombongan Pertama
Dari Alam Surambi Sungai Pagu, rombongan pertama kali sampai didaerah “Bukit Sikai”. Karena daerah tersebut sangat jauh dari sungai, rombongan pertama untuk beberapa hari kemudian turun kedaerah “Kampung Akat”. Atas keepakatan bersama, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri arah peninjauan dahulu yaitu kembali ke bukit Sikai melalui Bukit kayu Arang lalu turun ke Lagan Ketek dan Lagan Gadang. Didua daerah itulah pertama kali taratak dipancang.
Karena berbagai kesulitan berupa gangguan binatang gajah, rombongan kembali ke Bukit Sikai dan turun kebalik bukit tersebut dan sampai di “Bukit Runcing”. Meskipun daerah Bukit Runcing cuma cocok untuk peladangan, rombongan pertama tetap bertahan hingga beberapa kali masa tanam dan sampai kemudian didaerah itu penduduk membuat “pandam pekuburan pertama”. Didaerah Bukit Runcing itu pula terdapat satu lubuk/telaga yang dinamakan “Lubuk Niat”.
Karena berbagai kesulitan, maka kemudian rombongan penduduk kembali menuju Kampung Akat dan setelah beberapa waktu kemudian bergerak lagi menuju arah “Talata”, melalui “Bukit Karang Putih”. Dari Bukit Karang Putih, perjalanan diteruskan melalui “Gunung Merantih Terpanggang”. Di Talata, penduduk sempat membuat mesjid pertama dan terdapat pula pandam pekuburan. Sehingga sampai sekarang terkenal julukan “Lubuk Mesjid di Talata”. Sebagian penduduk ada yang meneruskan perjalanan menuju arah hulu “Air haji” melalui “Bukit Sambung” dan berhenti disebuah gunung yang bernama “Gunung Sari Baganti” dan di gunung tersebut ketua rombongan meninggal dunia.
Penduduk yang bertahan di Talata dulu, karena berbagai gangguan kemudian mengiliri sungai dan bermukim didaerah “Rumah nan Ampek”. Selanjutnya perkampungan diperluas sampai ke “Kampung Jelamu, Sawah Lurahan, Kampung Talawi dan Kampung Solok”. Terakhir diketahui, rombongan penduduk yang sampai di Rumah nan Ampek terdiri dari Suku Chaniago, Panai, Malayu dan Kampai. Itulah sebabnya, daerah tersebut dikenal dengan Rumah Nan Ampek. Pimpinan rombongan ini dikenal dengan “Ninik Mamak Nan Barampek Jalan Ulu, nan manampuah Bukit Barisan dan Pematang Nan Panjang”. Setelah beberapa waktu bermukim karena berbagai gangguan, rombongan Rumah Nan Ampek kembali lagi ke Kampung Akat.
Perpindahan rombongan pertama ini berakhir di Tandikek Ambacang setelah melaui jalan lama yang melewati Lagan Ketek dan Lagan Gadang. Ditempat tersebut penduduk menetap dan diperkirakan terjadi pada akhir abad XV (± tahun 1490).
Perjalanan Rombongan Kedua
Penduduk yang pindah dari alam surambi Sungai Pagu dan tergabung dalam rombongan kedua dimaksudkan untuk mencari rombongan pertama yang dulu pernah pindah. Rombongan kedua dipecah kedalam dua kelompok yaitu:
Pimpinan kedua kelompok ini dikenal dengan “Ninik Mamak Nan Batujuah” karena dari suku Malayu terdiri dari empat orang ninik mamak dan dari Lareh Nan Tigo ( Suku Chaniago, Sikumbang dan Jambak).
Setelah sampai didua daerah diatas, kedua kelompok yang tergabung dalam rombongan kedua tidaklah menetap, karena tujuannya adalah mencari rombongan pertama dulu. Setelah beberapa lama mencari, tetapi rombongan pertama tidak juga bertemu maka kedua kelompok diatas kemudian bergabung dan menyisiri pantai kearah selatan.
Rombongan kedua pertama kali bermukim di daerah “Katapiang Gadang/Pandan Banyak” yaitu antara muara Sumedang dengan Muara Punggasan. Pada tahap selanjutnya penduduk makin bergeser keselatan sampai didaerah “Damar Condong/Durian Condong” yaitu kira-kira batas antara muara Air Haji dengan Muara Punggasan dan akhirnya setelah sekian lama bermukim, penduduk gelombang kedua berbalik menuju utara dan menetap di Muara Punggasan. Disanalah taratak dipancang, membuat labuah dan tapian mandi. Dimana yang berbakat tani kemudian menjadi petani dan yang berbakat nelayan kemudian menjadi nelayan.
Beberapa waktu kemudian diketahui bahwa penduduk yang tergabung dalam gelombang pertama perpindahan dari Alam Surambi Sungai Pagu ternyata bermukim di hulu sungai. Akhirnya dalam pertemuan antara penduduk yang tergabung gelombang pertama dengan penduduk yang tergabung dalam gelombang kedua, lahir kesepakatan bahwa diantara yang ber-empat rombongan jalan diulu dengan yang bertujuh dari hilir membuat suatu pemukiman bersama yang disebut “Padang Sabaleh”. Seiring dengan itu dilakukanlah pembagian wilayah kekuasaan diantara mereka yaitu:
  1. Batas yang dapat dilimbur pasang ke hilir adalah kekuasaan orang dihilir (gelombang ke dua) seperti daerah Pasir Nan Panjang, Babang Pamukatan, Nan Babungo Karang, Nan Ba Payuang Waru.
  2. Batas yang dapat dilimbur pasang ke arah Mudik adalah kekuasaan orang yang dihulu (gelombang pertama) seperti daerah Kayu Nan Babniah, Nan Gadang Kalaso Nan Runciang Tanduak, Buah Manih dan Buah Masam.
Hasil pertemuan yang melahirkan kesepakatan Padang Sabaleh inilah yang dipercaya sebagai awal berdirinya Nagari punggasan, ± 1511 M.
Karena pertambahan penduduk maka dilakukanlah perluasan pemukiman dan wilayah pertanian. Rombongan ninik mamak Nan Barampek Jalan di Ulu memperluas areal kearah hulu mengikuti rintisan pertama seperti Rumah Nan Ampek, Sawah Lurahan, Jelamu, Solok dan Kampung Talawi. Suku Malayu mengambil tempat di kampung Limau Antu dan wilayah sekitarnya. Dihilir daerah suku Malayu ditempati oleh suku Kampai. Kemudian karena perkembangan dari kampung Limau Antu, suku Malayu melewati perkampungan suku Jambak menuju daerah Gunung Linggo dan sekitarnya. Penyebaran suku Panai tidak langsung kehilir, tetapi tiap areal kosong yang tidak ada pemiliknya dikuasai oleh suku Panai. Ketiga suku ini, kedepan mempunyai hubungan saling semendo-menyemendo. Khusus penyebaran mengenai penduduk suku Chaniago, karena anggotanya sedikit, perluasan hanya dilakukan pada bagian mudik yaitu di Taruko Baru dan Sawah Ladang saja.
Suku Malayu, Kampai dan Panai kemudian mendirikan Mesjid di kampung Kampai DT. Rajo Bagindo. Kemudian disebut dengan kampuang Mesjid Lama. Beberapa waktu kemudian mesjid diganti dengan mesjid baru didaerah Koto Langang, kampung DT. Rajo Marah. Kemudian dipindahkan lagi kedaerah Padang Kayu Dadiah sehingga mesjid yang berpindah-pindah tersebut dijuluki oleh mesjid bararak.
Sejarah Pemerintahan Adat Nagari Punggasan
Pemerintahan Masa Adat
Pada suatu waktu datang rombongan dari Indrapura, melewati nagari Punggasan menuju Pagaruyung untuk suatu keperluan. Rombongan yang merupakan utusan Tuanku Muhammad Syah (Regen Indrapura) melalui Air Haji terus ke Bukit Laban, tembus ke Limau Antu, kemudian mengilir sampai ke Parit Panjang. Didaerah Parit Panjang, rombongan diserang kerbau liar sehingga jatuh korban seorang dubalang Tuangku Muhammad Syah. Dubalang tersebut dikubur di pandam pekuburan di Tandikek Ambacang. Untuk mengusut kejadian tersebut maka datang Tuangku Muhammad Syah dari Indrapura dengan diiringi oleh Tuangku Imam dari Air Haji. Momen tersebut juga digunakan oleh Tuanku Muhammad Syah, untuk mengangkat/menyusun kepemimpinan adat di Nagari Punggasan. Pimpinan rombongan/ninik mamak yang berempat jalan diulu diangkat menjadi pucuk sukunya masing-masing. Kemudian ninik mamak nan batujuah jalan kudian diangkat pula menjadi pucuki suku masing-masing. Kemudian Tuangku Muhammad Syah sekaligus mengangkat sandi masing masing suku yaitu sandi suku Malayu empat orang, sandi Suku Kampai empat orang, sandi suku Lareh Nan Tigo tiga orang dan sandi suku Panai tiga orang, sehingga jumlah ninik mamak di Nagari Punggasan menjadi 18 orang. Istilah sandi pucuk suku kemudian berubah menjadi istilah Andiko Gadang.
Seiring dengan peristiwa diatas kemudian lahir istilah ; Malayu Nan IV Niniak-V dengan Pucuaknyo, Lareh Nan III-IV dengan Pucuaknyo, Kampai Nan IV Buah Paruik-V dengan Pucuaknyo dan Panai Nan III Ibu-IV dengan Pucuaknyo, sehingga berjumlah 18 orang ninik mamak yang kedepannya menentukan haluan pemerintahan adat di Nagari Punggasan.
Seiring dengan pertambahan penduduk, maka diangkat pula ninik mamak yang langsung berhubungan dengan anak kemenakan atau disebut dengan Andiko Ketek. Sehingga struktur ninik mamak di Nagari Punggasan menjadi “Bajanjang Naik-Batanggo Turun”. Mulai dari Andiko Ketek, terus ke Andiko Gadang dan terkahir berujung ke Pucuk Suku maupun sebaliknya. Masa ini disebut dengan pemerintahan masa Adat.
Pemerintahan Masa Belanda
Pada perkembangan selanjutnya terjadilah pertikaian dalam Nagari Punggasan dimana antara suku yang satu dengan yang lainnya saling bermusuhan. Untuk mengamankan keadaan maka dicarilah salah seorang yang paling disegani untuk meredakan suasana dan diberi jabatan “Ketua Adat”. Jabatan tersebut kemudian diisi oleh Si Manju DT. Tan Barain, salah seorang ninik mamak urang nan bajalan di pasiah nan panjang (Orang yang di hilir). Beliaulah yang pertama kali menjadi Pucuk Bulat pemerintahan adat di Nagari Punggasan yang disebut dengan “ Ikek Bulek, Payuang Sakaki”. Walaupun sudah ada Ketua Adat, pertikaian antar suku tidak juga teratasi.
Pada bulan April tahun 1690 M, empat orang pangulu di Kanagarian Punggasan menemui belanda di Pulau Cingkuak, Painan. Maksud kedatangan pangulu tersebut adalah untuk meminta bantuan Belanda untuk meredakan suasana dan mengembalikan kekuatan para pangulu di Kanagarian Punggasan. setelah selama empat hari berunding dengan panglima Belanda yang bernama Pieter, maka Belanda setuju untuk ikut campur urusan Nagari Punggasan.
Tindakan pertama yang dilakukan Belanda adalah mengubah istilah Ketua Adat menjadi istilah “Puncak “ yang artinya sangat tinggi dan sangat dimuliakan. Pada perkembangannya, istilah Puncak berkembang menjadi “Pamuncak” dan terkahir menjadi “Muncak”. Setelah sekian lama berubah lagi menjadi istilah “Kepala Nagari”. Sejak itulah fungsi Ketua Adat diambil oleh Kepala Nagari. Pada masa perubahan Jabatan Ketua Adat menjadi Kepala Nagari tersebut disyaratkan bahwa yang akan menjadi Kepala Nagari haruslah dari Pucuk Suku. Beberapa orang yang pernah menjadi Kepala Nagari Di Kanagarian Punggasan adalah sebagai berikut:
  1. Doeri DT. Tan Maruhun Tahun 1837-1860
  2. Laram DT. Tan Batuah Tahun 1860-1873
  3. Saidi DT. Majo Dirajo (Muncak Gapuak) Tahun 1873-1883
  4. Abdul Kadir DT. Bagindo Tan Ameh (Muncak Pensiun) Tahun 1883-1892
  5. Adam DT. Tan Batuah Tahun 1892-1981
  6. Ma’i DT. Bagindo Tan Ameh Tahun 1919-1922
  7. Narus DT. Tan Maruhun Tahun 1922-1942*
  8. Mundo Tahun 1942-1945
  9. H. Abdul Rahman Tahun 1945-1950
  10. H. M. Sunar DT. Tan Batuah Tahun 1963-1967
  11. Abusalam Talangai Sati Tahun 1967-1970
  12. H. M. Songer Tahun 1970-1973
  • Narus DT. Tan Maruhun diakhir tahun 1942 dipecat oleh Jepang
Masa Pemerintahan Republik Indonesia
Tanggal 12 Mei 1946 keluar maklumat Residen Sumatera Tengah yang menyatakan jabatan Kepala Nagari berubah menjadi Wali Nagari. Kedudukan pangulu suku dan pengulu lainnya dihapus dan diganti dengan Dewan Perwakilan Nagari (DPN). Pada saat itu di Nagari Punggasan sebanyak 30 orang yang dipilh dari cerdik pandai dan pangulu-pangulu yang ada dinagari punggasan.
Pada tanggal 10 Juni 1946 di Nagari Punggasan diadakan pemilihan umum untuk memilih Wali Nagari. Setelah pemilu berakhir, terpilihlah H. Abdul Rahman sebagai Wali Nagari Punggasan. Untuk membantu Wali Nagari diangkat 5 orang Dewan Harian Nagari (DHN) yang bertugas sebagai tata usaha. Disamping itu diangkat pula Komite Nasional dan seorang Ketua Pemuda. Untuk mengurus rakyat secara langsung, diangkat Wali Kampung. Pada masa agresi ke II Belanda diangkat pula seseorang yang mempunyai jabatan sebagai Wali Perang.
Setelah pemulihan keamanan, status pemerintahan di Nagari Punggasan dirubah. Wali Nagari dihapuskan dan diganti dengan Jurai. Nagari Punggasan pada masa itu terdiri atas tiga Jurai yaitu: 1. Jurai Gunung Sakti, dipimpin ole Yazid DT. Maharajo Dirajo 2. Jurai Bukit Sarai, dipimpin oleh Jabar DT. Bandaharo Panjang 3. Jurai Bungo Karang, dipimpin oleh Chairuman DT. Rajo Indo Diatas Jurai terdapat Wali Wilayah yang statusnya sama dengan Camat pada saat ini. Jurai ternyata tidak juga bertahan lama dan beberapa waktu kemudian kembali lagi ke Wali Nagari.
Susunan Pemerintahan Adat Nagari Punggasan
Orang Tua Adat : 1. H. M. Sunar Dt. Tan Batuah 2. Kasip Dt. Tan Barain Ketua : 1. Jamaluddin Dt. Majo Ayo Ketua II : 2. Jama’an Dt. Rajo Panghulu Sekretaris : 3. Hasan Basri Dt. Rajo Adil Sekretari II : 4. Ajis Syam Wk. Dt. Bagindo Rajo Bendahara : 5. Sukarnison Dt. Rajo Mangkuto
Bagian seksi-seksi : Seksi Kekayaan Nagari 1. Ketua : Pamas Dt. Majo Dirajo 2. Wk. Ketua : Ahmad Nurdin Wk. Bandaro Panai 3. Anggota : Hadis Dt. Dio Nan Sati Anggota : Arif Wk. Imam Batua Anggota : Yusmaniati Anggota : Kepala Desa Pasa Punggasan
Seksi Perdamaian Adat 1. Ketua : Alis Dt. Mangkuto Basa 2. Wk. Ketua : B. Dt. Rajo Mudo 3. Anggota : Busmal Dt. Rajo Alam Anggota : Kadir Dt. Tan Moliah Anggota : Murni S Anggota : Kepala Desa Punggasan Timur
Seksi Pembinaan Adat dan Pengembangan Adat : 1. Ketua : Siri Dt. Bdr Putiah 2. Wk. Ketua : 3. Anggota : Mak Ukir Manti SM Dirajo Anggota : Enek Manti Melayu IV Niniak Anggota : Syahril Labai Mandaro Anggota : Kepala desa Punggasan Utara
Seksi Peningkatan Kesejahteraan Anak Nagari: 1. Ketua : Syair Dt. Tua 2. Wk. Ketua : Jamaluddin Dt. Rajo Ayo 3. Anggota : Jadi Dt. Rajo Silayo Anggota : Siam Dt. Rajo Bangkeh Anggota : Gadi Alui Anggota : Kepala desa Lagan G. Hilir
Seksi Keuangan Nagari 1. Ketua : Kasip Dt. Mulia 2. Wk Ketua : Tamar Dt. Bagindo Arab 3. Anggota : Dalas Rajo Lelo Anggota : Rosna Anggota : Nurjana. K Anggota : Kasimar Manti Bdr Jambak Anggota : Kepala Desa Padang IX Punggasan. Dalam tatanan adat kenagarian Punggasan terdapat satu istilah yang menunjukkan status Ninik Mamak/strata Kepenghuluan di KAN Punggasan yang berbunyi “Ikek Ampek Payuang Sakaki” maksudnya Ketua Kerapatan Adat Nagari Punggasan dalam melaksanakan tugas serta fungsinya dibantu oleh empat orang ninik mamak yang berfungsi sebagai penghulu pucuk suku. Suku-suku di Kanagarian Punggasan, terdiri dari suku Malayu, Panai, Kampai, Chaniago, Jambak dan Sikumbang. Tetapi beberapa suku mempunyai satu pucuk yang sama seperti suku Chaniago, Jambak dan Sikumbang yang menghimpun diri dalam “Lareh Nan Tigo”.
Ketua KAN haruslah berasal atau dipilih dari penghulu pucuk atau setidak-tidaknya berasal dari keluarga pangulu pucuk suku atau lazim disebut dengan “Kaum Kapucukan”. Mengenai kedudukan “Urang Tuo Adat”, mempunyai fungsi sebagai penasehat bagi pelaksanaan tugas KAN. Orang yang diangkat menjadi Urang Tuo Adat adalah orang-orang yang disegani dan mempunyai pengetahuan yang luas tentang adat maupun tentang segala aspek kenagarian Punggasan. Meskipun fungsinya hanya sebagai penasehat, namun dalam tataran pelaksanaannya adalah orang yang mempunyai pengaruh menentukan dalam nagari Punggasan atau setidak-tidaknya pengaruh terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan adat. Ketua KAN maupun Urang Tuo Adat haruslah bergelar Datuak.
Setingkat di bawah Pangulu Pucuk Suku, terdapat pangulu “Andiko Gadang” yang berfungsi sebagai Pengulu Kaum. Pada tingkat selanjutnya, pangulu Andiko Gadang dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh Pangulu “Andiko Ketek” yang dalam fungsinya bertindak sebagai pangulu di jurai-jurainya masing-masing. Pangulu Andiko Keteklah yang langsung berhubungan dengan anak kamanakan.
Disamping dibantu oleh Pangulu Andiko Gadang, Pucuk Suku juga dibantu oleh “Panungkek Pucuak Suku”. Panungkek Pucuak Suku bertugas untuk menggantikan pangulu Pucuk Suku apabila dia berhalangan atau apabila pangulu Pucuk Suku sudah uzur, maka segala tugas dan kewenangannya dijalankan oleh Panungkek Pangulu Pucuk Suku.
Selanjutnya dibawah ini data tentang jabatan-jabatan adat dalam Kenagarian Punggasan
NO SUKU PUCUK SUKU ANDIKO GADANG 1 Malayu IV Niniak DT. Tan Bagindo Ameh a. Malayu Tangah : DT. Tan Barain b. Malayu Durian : DT. Marajo Pangulu c. Malayu Koto Kaciak : DT. Dio Nan Sati d. Malayu Beriang : DT. Rajo Silayo
2 Panai III Ibu DT. Tan Batuah a. Panai Lundang : DT. Sampono Mudo b. Panai Tangah : DT. Rajo Alam c. Panai Tanjung: DT. Panji Alam Batuah 3 Kampai Nan IV Buah Paruik DT. Tan Maruhun a. Kampai Sawah Laweh: DT. Mandaro Putiah c. Kampai Tangah: DT. Bagindo Sulaiman c. Kampai Bendang: DT. Magek Batuah d. Kampai Nyiur Gading: DT. Tan Mangunsi 4 Lareh Nan Tigo DT. Bandaro Sati a. Suku Jambak: DT. Mangkuto Basa b. Suku Sikumbang: DT. Rangkayo Basa
Untuk lebih lengkap, dibawah ini dituliskan data tentang jabatan-jabatan adat lain pada tingkat suku yaitu suku Malayu Nan IV Niniak.
Pucuak Suku Malayu IV Niniak : DT. Bagindo Tan Ameh Dubalang : Panduko Alah Manti/Sambungan Kato : Sutan Sinaro Panungkek pucuak Suku : DT. Rajo Adil Andiko Ketek 1. DT. Rajo Bangke 2. DT. Rajo Rayo 3. DT. Pintu Langik 4. DT. Bagindo Rajo 5. DT. Mandaro Panjang 6. DT. Rajo Hitam 7. DT. Rajo Muliah 8. DT. Rajo Magek 9. DT. Lelo Mandaro 10. DT.  Malayu Tangah a. Andiko Gadang : DT. Tan Barain b. Andiko Ketek :vTuah  DT. Rajo Barain c. Manti : Bagindo Barain d. Dubalang : Panduko Barain

 Malayu Durian a. Andiko Gadang : DT. Marajo Pangulu b. Andiko Ketek :
v DT. Rajo Manang c. Manti : Bagindo Manang d. Dubalang : Panduko Manang
 Malayu Koto Kaciak a. Andiko Gadang : DT. Dio Nan Sati b. Andikov Ketek : DT. Rajo Api c. Manti : Bagindo Api d. Dubalang : Panduko Api
 Malayu Beriang a. Andiko Gadang : DT. Rajo Silayo b. Andiko Ketek :v DT. Rajo Koto c. Manti : Bagindo Koto d. Dubalang : Panduko Koto
Nagari-nagari di Linggo Sari Baganti
Ada 7 nagari di kecamatan ini pasca pemekaran nagari yaitu Punggasan Utara, Punggasan Timur,Padang XI Punggasan, Punggasan,Lagan Mudik Punggasan, Lagan Hilir Punggasan dan Air Haji.
Selanjutnya desa-desa yang ada di ke-7 nagari tersebut adalah : 1. Aia Haji Barat, 2. Pasa Bk. Aia Haji 3. Rantau Simalenang 4. Aia Haji Tangah 5. Pasa Aia Haji 6. Aia Haji Tenggara 7. Punggasan Timur 8. Pasa Punggasan 9. Padang XI Punggasan 10. Punggasan Utara 11. Lagan Hilia Punggasan 12. Lagan Mudiak Punggasan

Kearifan Lokal
Kearifan lokal komunitas nelayan di Punggasan sudah berlangsung sejak berabad-abad. Kearifan tradisional lahir, terbentuk dan menjadi ketentuan hukum adat yang mengikat seiring dengan berjalannya roda peradaban. Perobahan terhadap materi-materi hukum adat pantai tersebut selalu dilakukan dalam rangka mensinergiskan dengan perkembangan teknologi alat tangkap. Namun demikian muara dari pengaturan maupun perobahan terhadap ketentuan-ketentuan hukum adat tersebut tetaplah pada cara bagaimana supaya kelestarian SDA Kelautan/Perikanan tetap terjaga.
Pada komunitas nelayan Punggasan, hidup suatu kerifan tradisional yang merupakan ketentuan-ketentuan hukum adat yang dipatuhi oleh mereka. Bahkan nelayan-nelayan tradisional daerah lain yang kebetulan berhubungan dengan nelayan maupun yang merapat di pantai punggasan juga harus menghormati ketentuan tersebut. Atau dengan kata lain ketentuan hukum adat kelautan yang hidup dan berkembang dilingkungan komunitas nelayan Punggasan juga mengikat nelayan diluar komunitasnya. Ketentuan tersebut baru mengikat apabila para nelayan diluar nelayan Punggasan telah mengetahui keberadaan ketentuan tersebut.
Beberapa waktu yang lewat, sekitar tahun 1980-an, hukum adat kelautan yang dianut oleh komunitas nelayan Pungggasan tersebut mulai dituliskan dalam bentuk pasal-pasal. Didalam kodevikasi hukum adat kelautan Punggasan tersebut terdapat ketentuan-ketentuan tentang pelanggaran berat ataupun ringan pelanggaran ringan, berikut dengan sanksinya. Tetapi setelah beberapa waktu berjalan, kodevikasi hukum adat kelautan Punggasan tersebut hilang. Akhirnya ketika terjadi persoalan antara nelayan Air Haji dengan nelayan Punggasan mengenai keberadaan kapal Pukat hamparan Dasar yang beroperasi di wilayah laut Punggasan, barulah ketentuan tersebut dituliskan lagi.
Kecamatan
Lambang Kabupaten Pesisir Selatan

Museum template.gif 
Artikel bertopik kecamatan di Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.






Share by : id.wikipedia.org/wiki/Linggo_Sari_Baganti,_Pesisir_Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

ANGGOTA